News Kompasindo - Alissa Wahid, Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia
mengatakan bahwa pesan yang mengarah kepermusuhan dan banyak beredar di media
sosial semakin menguat.
Menurutnya, hal itu juga akan sebagai pemicu setiap tindakan
di dunia nyata.
"Ini adalah musuh kami, kami sangat menolak hal ini.
ini sangat kuat sekali dan itu muncul juga didalam setiap tindakan. tindakan
ini direkam, di videokan serta di viralkan melalui media sosial", kata
Alissa di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin ( 27/2/17).
Alissa juga menilai, ujaran yang mengarah ke arah kebencian
akan semakin sangat berbahaya jika di ikuti aksi kekerasan. salah satunya yang
pernah terjadi didalam sebuah video yang banyak beredar di media sosial dengan
ujaran seseorang yang menangkap dan melakukan tindakan kekerasan.
"Apa yang terjadi di media sosial itu akan memiliki
pengaruh yang sangat besar sekali. kayan tangkap kandidat ini, potong lehernya,
ini sangat mengkhawatirkan karena telah mendorong seseorang untuk melakukan
suatu tindakan kekerasan, itu sangat bahaya sekali", ujar Alissa.
Dirinya juga menuturkan bahwa pihaknya pernah melakukan
pemantauan ujaran kebencian yang banyak beredar di media sosial.
Dari pekan ketiga September hingga pekan pertama Oktober
2016 lalu, pihaknya telah mencatat terdapt 28.000 kicauan yang didalamnya
mengandung kata " Sesat" dan ada 21.000 kicauan yang mengandung kata
kata "Kafir" di Twitter.
"Kalau di Facebook jauh lebih parah, ada sekitar
113.000 di dalam waktu tiga bulan yaitu September hingga November. jadi bisa
dibayangkan kobaran permusuhan itu terus menerus", ujar Alissa.
Sementara itu, aktivis hak asasi manusia ( HAM ), Todung Mulya Lubis menilai,
ujaran kebencian menguat setelah terjadinya reformasi.
Menurutnya, kondisi ini tidak pernah terjadi sebelum masa
reformasi.
Pada era demokrasi liberal pada tahun 1950. kata Todung, telah
terjadi pertentangan ideologi yang tajam antara kelompok komunis dan kelompok
islam.
Meskipun demikian, ujaran kebencian kala itu tidak
berlangsung secara masif seperti yang terjadi belakangan ini.
"Pada jaman reformasi ini, sentimen sentimen rasialis
tumbuh subur, anti-etnis dan agama tertentu telah mencapai puncak yang tidak
pernah dialami pada masa masa sebelum reformasi", kata Todung.(News Kompasindo)